MEMBANGUN IDENTITAS KOTA (SEBUAH STRATEGI)

Posted: December 24, 2009 in Penataan Ruang
Tags: , ,

Andryan Wikrawardana

Alfian (2007) dalam Purwanto (2008) mencatat adanya beberapa tipologi kota yang terekam dalam sejarah kota-kota di Indonesia dan dibagi dalam 3 kelompok yaitu ,

  1. Kota Tradisional, yaitu kota yang dibentuk dan dibangun oleh penguasa pada saat mendirikan pusat-pusat kerajaan seperti kota Jogjakarta dan Surakarta.
  2. Kota dagang pra-kolonial dan awal kolonial, seperti misalnya kota Banten, Cirebon, Surabaya, dan beberapa kota di sepanjang pantai Utara Jawa. Tipe ini secara prinsip dapat dikategorikan sebagai kota-kota dengan konsep kota tradisional yang telah mengalami modifikasi, meskipun dominasi tradisionalnya masih sangat kuat.
  3. Kota kolonial modern, yang secara prinsip mengacu pada konsep kota modern dan produk industri dari negara-negara maju.

Tipologi ini mencerminkan adanya nilai-nilai yang tersimpan dalam setiap sudut ruang kita di Indonesia. Misalnya, konsep kota tradisional di Indonesia merupakan konsep kota yang berasal dari peradaban agraris yang bersifat tertutup. Kota berada pada suatu sistem legitimasi agama seorang raja sehingga simbol-simbol kota ditampakkan dalam bangunan-bangunan keagaman maupun acara-acara yang bersifat tradisi (Wiryomartono, 1995).  Kemudian, terjadi sebuah pergeseran ketika kota mulai berkembang menjadi kota dagang pada zaman pra-kolonial. Kota tidak dibangun berdasarkan kebersamaan sebuah sistem nilai melainkan merupakan semacam konfederasi dari kelompok-kelompok sosio-kultural (McGee, 1967). Kota menjadi lebih heterogen. Dan kota semakin bersifat terbuka ketika terus bergeser menurut prinsip kota modern. Kota harus bersifat terbuka bagi semua orang dan merupakan komunitas yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama antara kelompok-kelompok yang setara dengan tujuan membangun kehidupan bersama. Sehingga setiap kelompok harus mampu menekan sebagian kepentingan kelompok mereka sendiri, demi terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis dan religi (Nas, 1984).

Fenomena urbanisasi di Indonesia akibat migrasi desa – kota menyebabkan kenaikan jumlah penduduk perkotaan. Data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% per tahun (1990-1995).

Fenomena yang ada menyebabkan percepatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat kota bergerak begitu cepatnya. Hadirnya pusat-pusat perbelanjaan megah, apartemen-apartemen mewah hingga proyek infrastruktur kota terjadi setiap harinya menjadi suatu indikator bahwa kota semakin dituntut untuk berkembang. Akan tetapi, pemenuhan tersebut cenderung menyebabkan perkembangan kota seolah kehilangan arah. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor tadi serta inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan menyebabkan Guideline perencanaan kota seolah menjadi dokumen formal tanpa eksekusi nyata di lapangan. Dan kondisi ini semakin lama semakin mengikis nilai-nilai lokal yang seharusnya menjadi identitas kota dan harus terus kita jaga ditengah pergeseran perkembangan kota yang semakin dituntut hegemoni modernisasi. Akan sangat berbahaya ketika modernisasi kota terus terjadi dengan alasan platform menjual fungsi kota tanpa berpikir bagaimana sebuah identitas serta karakter yang khas akan lebih memberikan warna dalam alur perkembangan sebuah kota.

Dengan kecenderungan urbanisasi yang terus meningkat, perhatian pada penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian khusus. Tidak hanya sekedar menciptakan “branding” , namun menghadirkan ruang kota yang nyaman, serta mengedapankan upaya-upaya menyelamatkan kekhasan dan nilai-nilai lokal suatu kota karakter unik suatu kota akan benar-benar terlihat .

Kevin Lynch dalam bukunya The Image of The City (1960) mendefinisikan identitas kota sebagai berikut :

“……..identitas kota bukan dalam arti keserupaan suatu objek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan objek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri” (Lynch, 1960)

“…….identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri” (Lynch, 1960).

Dari definisi tersebut sangat jelas bahwa identitas suatu kota pada dasarnya adalah sesuatu yang mampu memberikan kesan dalam sebuah proses imajinasi manusia dan pada akhirnya menciptakan kesan tersendiri dalam perjalanannya. Identitas suatu kota tidak sekedar simbolis arsitektural semata seperti tragedi salah kaprah para penguasa yang berpikir praktis bahwa menciptakan identitas suatu kota cukup dengan membuat “landmark’ semata.  Memahami citra dan identitas kota tidak hanya berorientasi pada keberadaan elemen-elemen fisik maupun kejelasan struktur kotanya namun yang lebih penting bagaimana keberjalinan antara manusia dengan artefak fisik dapat terbangun. Sehingga adnya sebuah “sense” yang memberikan makna bagi setiap orang yang berjalan di sudutnya.

Ketika kita berbicara mengenai identitas kota, tidak akan pernah lepas dari bentukan-bentukan fisik tiga dimensi bangunan-bangunan arsitekturnya serta sudut pandang kehidupan manusia yang menghuni di dalamnya. Kita akan mampu merasakan sebuah keunikan sebuah kota tidak hanya secara fisik namun juga keunikan dan kekhasan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan spiritual penghuninya. Kota adalah sumber kenangan (collective memory) masa lampau. Kota bukan sekedar candradimuka manusia masa kini, melainkan juga sebagai sumber kenangan masa lampau dan arena berfantasi ke masa depan (Budiharjo, 1991).  Sehingga sangat jelas bahwa kota tidak boleh dipahami sebatas fisik semata, namun lebih ditekankan bagaimana interaksi sosial antara berbagai elemen terjadi.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kota-kota di Indonesia mengalami proses modernisasi yang tidak menghasilkan keunikan dan menonjolkan khasanah budaya lokalnya. Kota menjadi seragam, bahkan sekedar menjadi korban dari majalah. Kota mengalami degradasi budaya, dimana arsitektural bangunannya terlalu banyak mengadopsi paham-paham luar dan melupakan filosofi-filosofi lokal. Kondisi ini seringkali menghasilkan struktur ruang kota yang berbeda dan menghilangkan pola interaksi sosial masyarakat lokal yang telah lama dipelihara. Jika hal ini dibiarkan tidak hanya kota yang akan kehilangan kerafian lokalnya, masyarakatnyapun akan terbuai dengan modernisasi tanpa pernah tahu bahwa mereka punya identitas yang seharusnya mampu menjadi kebanggaan bagi mereka.

Dalam kondisi masa sekarang, di tengah tuntuan pembangunan kota yang kian beragam diperlukan suatu strategi untuk membangun dan mengembangkan sebuah kota sekaligus membangun identitasnya. Tidak sekedar mencipta bangunan hingga level kawasan, namun mencipta kondisi dimana adanya keserasian setiap unsur yang ada. Hal terpenting yang patut diperhatikan adalah bagaimana memanfaatkan potensi dan kekayaan arsitektur, iklim dan budaya lokal yang digunakan sebagai basis dalam merencanakan dan merancang sebuah kota yang beridentitas.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun kota yang beridentitas diantaranya adalah membangun kota dengan struktur yang jelas. Kota akan menjadi mudah dipahami serta meninggalkan kesan yang mendalam jika kota tersebut memiliki struktur ruang yang jelas. Struktur ruang kota yang jelas akan mempermudah dalam proses penjelajahan dan orientasi terhadap lingkungan sekitarnya. Akan tetapi akan terjadi hal sebaliknya jika kota tidak memiliki struktur yang jelas. Misalnya, penempatan fungsi guna lahan yang tidak tepat sehingga aktivitas lalu lintas yang ada menjadi meningkat tentunya akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi setiap orang yang ada didalamnya.

Selain itu, kota harus memiliki keunikan dan kekhasan fisik. Keunikan dan kekhasan ini akan memberikan pengalaman berbeda bagi setiap orang yang menikmatinya. Misalnya, ketika orang berkunjung ke Bali, akan terlihat dan dapat dirasakan betapa keunikan dan kekhasan tekstur ruang dan arsitekturnya. Kota Yogyakarta misalnya masih dikenali melalui artefak fisik berupa keraton dan jalan penghubungnya yang membentuk aksis (as), diantaranya jalan Malioboro dan hingga sekarang jalan tersebut berkembang menjadi kawasan perdagangan yang unik dan menjadi sebuah ikon kota yang mendunia. Potensi artefak fisik yang unik dan khas dapat menjadi salah satu modal membangun identitas kota dengan cara merevitalisasinya agar menjadi sebuah pembeda dengan kota-kota lainnya. Meskipun dalam perkembangannya kota-kota tersebut akan mengalami pertumbuhan, hal penting yang diperlukan adalah bagaimana kekhasan dan keunikan artefak fisik tersebut dapat berdampingan  selaras dengan bangunan/artefak fisik yang bersifat modern dan baru.

Kota juga harus mempunyai kandungan Collective Memory. Salah satu contoh kota yang mempunyai kandungan kenangan kolektif adalah kota Yogyakarta terutama di pusat kotanya (sekitar kawasan Malioboro). Kawasan ini terbentuk oleh faktor sejarah yang menyimpan banyak memori masa lalu baik nilai-nilai budaya, sosila, spiritual, ekonomi hingga politik. Karena menyimpan memori masa lalu yang sangat kuat dan berkesan bagi pelaku ruangnya, maka muncul keinginan untuk selalu mengulang hadir kembali dalam pentas kehidupan ruang perkotaan ini.

Kota akan lebih terasa identitasnya ketika kota tersebut memberi ruang untuk pemasaran produk lokal. Kawasan Malioboro di Kota Yogyakarta adalah sebuah bukti, betapa kegiatan jual beli produk lokal menjadi sebuah aktivitas unggulan yang menjadi sebuah identitas lokal.

Keberadaan PKL tersebut menjadi ikon kawasan Malioboro, bahkan muncul jargon “kalau ke Jogja belum ke Malioboro belum dianggap ke Jogja”. Eksistensi PKL tersebut memberikan sebuah penegasan bahwa identitas sebuah kota dapat dibangun dengan ikon PKL yang menjajakan produk lokal (Purwanto, 2007)

Peran perencana, arsitek, sosiolog dan pengelola pembangunan kota tidak sekadar merumuskan rencana masa depan kota secara fisik dan keruangan yang serba deterministik, rasional dan fungsional, melainkan mengarah pada aspek pelibatan pelaku ruangnya. Membangun kota bukan sekedar mendesain kawasan maupun bangunan berasas estetika belaka. Jangan pernah memahami sebuah kota sebagai lautan beton yang disusun rapi sedemikian rupa yang selalu ingin tampak indah. Seorang perencana, arsitek, sosiolog, hingga pengambil kebijakan harus membebaskan diri dari pikirannya bahwa perencanaan pembangunan kota hanyalah fisik semata.

Membangun lalu kemudian mempertahan identitas kota tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kekuatan pasar yang semakin mengontrol pembangunan kota begitu mudah mengendalikan kebijakan Pemerintah terkait pembangunan kota. Membangun dan mempertahankan identitas kota pada dasarnya bukanlah perkara mudah, Disisi lain membangun identitas kota sangat diperlukan, karena identitas kota tidak hanya berbicara jatidiri sebuah kota namun lebih luas lagi yaitu bagaimana masyarakat yang menempati menjadi lebih nyaman dalam bersosialisasi, berinteraksi, sedangkan masyarakat yang mengamati menjadi lebih tertarik untuk mengunjungi dengan berbagai potensi kekayaan khasanah lokalnya.

References

Alfian, Magdalia, 2007, Kota dan Permasalahnnya, Makalah pada Diskusi Sejarah BPSNT, Yogyakarta, 11-12 April 2007.

Budihardjo, E., 1991, Arsitektur dan Kota di Indonesia, Cetakan ke-3, Alumni, Bandung.

Habermas, Juergen (1999), The Structural Transformation of The Public Sphere, Polity Press

Jacobs,J., 1969, The Death and Life Great American City, New York, Random House.

Jacobs, A.B., 1993, Great Streets, MIT Press, Cambridge.

Kostof, S., 1991, The City Shaped: Urban Patterns and Meanings Through History, Thames and Hudson, London.

Kusumawijaya, M., 2006, Kota Rumah Kita, Borneo Publication, Jakarta.

Lynch, Kevin, 1960, The Image of The City, MIT Press, Cambridge.

Lynch, Kevin, 1972, Good City Form, MIT Press, Cambridge.

McGee, T.G., 1967, The Southeast Asian City, G.Bell and Son.

Nas, PJM., 1984, Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota (Terj.), Bhratara Karya Aksara.

Purwanto, Edi, 2007, Rukun Kota: Kota Berbasis Budaya Guyub, Disertasi Doktor Teknik Arsitektur UGM (tidak dipublikasikan).

Rapoport, A., 1977, Human Aspect of Urban Form, Oxford: Pergamon Press.

Rossi, A., 1982, The Architecture of The City, The MIT Press, Cambridge.

Schulz, C.N., 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology of Architecture, Rizzoli, New York.

Siregar, S.A., 2000, Kota Sebagai Objek dan Konteks Arsitektur, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Sudaryono, dkk, 2002, Laporan Kemajuan Penelitian : Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem Mainstream Perencanaan Pembangunan Lokal, dalam : Riset Unggulan Terpadu Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan (RUKK III), (tidak dipublikasikan).

Tohjiwa, Agus D, 2008, Kota Kompak Berkelanjutan sebagai Konsep Pembangunan Kota di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Peran Arsitektur Perkotaan dalam Mewujudkan Kota Tropis, 6 Agustus 2008.

Wheatly, Paul, 1983, Nagara and Commandery: Origin of the Southeast Asian Urban Traditions, The University of Chicago.

 

Leave a comment