Tiga Tahun Pasca Lahirnya Undang-Undang No 27 Tentang Penataan Ruang, Quo Vadis Tata Ruang Indonesia?

Posted: April 18, 2010 in Penataan Ruang
Tags: , ,

Andryan Wikrawardana

Napak Tilas

Tepat tiga tahun yang lalu ,sebuah undang-undang yang menjadi harapan besar masyarakat planologi Indonesia terlahir. Sebuah peraturan perundangan yang lahir ketika seluruh elemen bangsa mulai menyadari betapa pentingnya penataan ruang kota dan wilayah di Indonesia. Bencana alam yang terjadi seperti tsunami di Aceh , gempa di Yogyakarta , banjir , tanah longsor yang kemudian dipercantik dengan permasalahan klasik perkotaan seperti kemacetan, slump area , urbanisasi , hingga minimnya ruang terbuka hijau menimbulkan banyak kerugian bagi semua pihak. Hal ini menggugah para pakar, akademisi , pemerintah serta masyarakat untuk menyadari bahwa untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik, butuh sebuah perencanaan serta penataan wilayah dan kota di Indonesia secara komprehensif.

Untuk mencoba menata kembali ruang di Indonesia maka Undang-undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang lahir untuk menyempurnakan undang-undang penataan ruang sebelumnya yaitu UU No 24 tahun 1992. Undang- undang yang lama dirasakan oleh berbagai pihak terutama kalangan praktisi perencana dan akademisi masih belum efektif dalam mengendalikan perkembangan ruang wilayah dan kota di Indonesia. Selain itu, substansi pada undang-undang yang lama masih bersifat normatif. Kurang diperhatikannya partisipasi masyarakat dalam upaya penataan ruang, tidak sesuai dengan beberapa peraturan perundangan terbaru lainnya dan belum adanya mekanisme sanksi terhadap pelanggaran dalam penataan ruang menjadi landasan utama diperlukan sebuah undang-undang baru sebagai “GARDA DEPAN” perbaikan penataan ruang di Indonesia.

Amanah Baru

UU No 26 Tahun 2007 lahir dengan visi mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dimana  “aman” adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Kemudian “nyaman” adalah adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. Serta “produktif” yaitu ketika proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing. Dan terakhir adalah “berkelanjutan” yang diartikan sebagai sebuah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Quo Vadis?

Jika kita melihat visi dari undang-undang penataan ruang yang terbaru, sangat jelas akan terlihat sebuah tujuan besar yang sangat utopis. Implementasi di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak hal yang kontradiktif terjadi di lapangan. Undang-ndang penataan ruang mengamanatkan bahwa dua tahun pasca diberlakukannya undang-undang ini, semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan dan tiga tahun pasca diberlakukan bagi peraturan di tingkat kabupaten/kota. Namun, masih banyak daerah di Indonesia yang belum menetapkan peraturan terkait penataan ruang di wilayahnya masing-masing sehingga proses implementasi yang ada masih belum optimal. Pembalakan liar hutan di Indonesia masih marak terjadi , alih fungsi lahan tidak terkendali , kemacetan serta banjir masih menjadi cerita miris setiap hari. Dan yang paling menyakitkan hati adalah tindakan represif aparat berkedok penataan kota terhadap rakyat jelata.

Kemudian, proses tata ruang di Indonesia masih identik dengan istilah “Tata Uang” , dan masih  berada dalam genggaman politik penguasa. Kondisi ini menyebabkan upaya penataan ruang di Indonesia terkadang menghadapi jalan buntu. Dokumen perencanaan yang ada hanya menjadi dokumen normatif penuh kepentingan politik. Bukan sebuah guideline independen bernilai akademis untuk mencoba memberikan wajah baru bagi upaya pembangunan di Ibu Pertiwi.

Menata ruang bukanlah menata benda mati. Menata ruang pada hakikatnya adalah sebuah strategi mensinergiskan semua elemen di dalamnya, sehingga stabilitas kehidupan dapat terjaga secara proporsional.  Bukan sekedar mempercantik fisik sebuah kota,  melainkan memberikan kepastian dan kenyamanan bagi penghuninya.

Tiga tahun pasca lahirnya undang-undang penataan ruang yang baru , marilah kita sedikit merenung. Kita jadikan sebuah evaluasi untuk kembali mengatur langkah serta menatap masa depan wajah ruang wilayah dan kota Indonesia yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Mari kita AGLOMERASIKAN tekad kita untuk mewujudkannya.

Leave a comment